Menu Tongseng Tupai dari Serat Centhini
TEMPO Interaktif, Jakarta: Seporsi tongseng di atas meja itu terlihat aneh. Di antara potongan-potongan daging dalam genangan kuah kuning kecokelatan itu menyembul selarik ruas-ruas tulang berbalut daging sepanjang sejengkal dengan satu ujungnya lancip. Ya, benda aneh itu memang sepotong ekor tupai. Nama masakannya juga cukup aneh: Tongseng Bajing Mlumpat alias Tongseng Tupai Melompat. Jangan merasa bergidik dulu. Meski aneh, menu masakan ini bersumber dari Serat Centhini, sebuah naskah kuno yang sangat masyhur.
Penasaran ingin mencicipi menu yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit asma ini? Kita bisa menikmatinya di Waroeng Dhahar Pulo Segaran, yang terletak di kompleks Rumah Budaya Tembi, Desa Tembi, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Menghidangkan menu-menu yang bersumber dari Serat Centhini adalah bagian dari niat kami untuk melestarikan budaya leluhur. Sama sekali tidak ada niatan untuk mencari sensasi,” ujar Alex Listyadi, General Manajer Rumah Budaya Tembi.
Bumbu untuk Tongseng Bajing Mlumpat sama dengan tongseng ayam atau tongseng kambing, yang sudah sangat dikenal masyarakat Jawa sejak dulu. Menyantap masakan tongseng membuat badan menjadi hangat oleh paduan rempah seperti kunyit, jahe, bawang, dan merica yang menjadi bumbu utamanya.
Mereka yang tidak biasa memakan daging tupai tentu akan sedikit mengalami masalah saat menyantap tongseng tupai ini, apalagi kepala dan ekor tupai tidak dibuang. “Justru daging tupai inilah yang punya efek menyembuhkan penyakit asma, seperti disebut dalam Serat Centhini,” ujar I Made Bawa, juru masak Waroeng Dhahar Pulo Segaran.
Bagi Made Bawa, yang sudah berpengalaman sebagai koki, memasak Tongseng Bajing Mlumpat tentu bukan hal sulit. Untuk satu porsi Tongseng Bajing Mlumpat seharga Rp 25 ribu ini dibutuhkan dua ekor tupai. Setelah dikuliti, tupai dipotong-potong dan dimasukkan ke bumbu tongseng hingga empuk. Untuk memperkaya rasa, ditambahkan potongan kol, wortel, serta taburan lada hitam.
Warung makan ini juga menawarkan Tongseng Manuk Emprit alias Tongseng Burung Pipit–juga bersumber dari Serat Centhini–yang berkhasiat menyembuhkan penyakit asma.
Untuk satu porsi Tongseng Manuk Emprit, dibutuhkan enam ekor burung pipit yang sudah dihilangkan bulu, kepala, dan cakarnya. Enam burung pipit yang sudah digoreng itu kemudian dimasukkan ke bumbu tongseng, ditambah sayuran kol dan wortel. Rasa daging burung pipit yang gurih dan ramuan bumbu tongseng akan langsung menghangatkan badan setelah kita santap.
Tidak sulit bagi pengelola Waroeng Dhahar Pulo Segaran untuk mendapatkan bahan baku tupai dan burung pipit. Dua binatang itu masih bisa didapatkan dengan mudah dari Pasar Hewan Ngasem di Yogyakarta. “Untuk Tongseng Manuk Emprit, bisa langsung dipesan di warung karena stok burung pipit selalu tersedia di sini. Namun, untuk Tongseng Bajing Mlumpat, harus dipesan beberapa hari sebelumnya karena stok tupai belum tentu tersedia,” Alex Listyadi menjelaskan.
Serat Centhini merupakan buku yang berisi tembang Jawa, dibuat pada 1814 di Keraton Surakarta. Naskah setebal 6.000 halaman itu menceritakan pengembaraan Seh Amongraga ke pelosok Tanah Jawa, dengan berbagai pengalaman dan perjumpaan dengan banyak orang.
Disebut-sebut oleh beberapa ahli sebagai ensiklopedia kebudayaan Jawa, kini naskah asli Serat Centhini tersimpan di Perpustakaan Keraton Surakarta. Di dalamnya termuat pengalaman Seh Amongraga yang berisi ilmu pengetahuan kebudayaan Jawa, antara lain tentang keagamaan, seni musik, seni tari, ramalan, nama-nama tempat di Jawa, nama tumbuhan, siklus kehidupan, erotisisme, dan nama-nama makanan serta minuman.
Alex Listyadi mengakui, Waroeng Dhahar Pulo Segaran baru bisa menawarkan beberapa menu yang bersumber dari Serat Centhini. Selain dua jenis tongseng tersebut, warung makan ini menyajikan Oseng-oseng Manuk Emprit, Rawong Kutuk (ikan gabus), Nasi Goreng Manuk Emprit, Soto Kambangan (soto bebek), Gulai Banyak (angsa), dan sebagainya.
Menawarkan seluruh menu yang disebut dalam Serat Centhini jelas merupakan pekerjaan sulit, meski diakui Alex hal itu menjadi salah satu obsesinya. Sebab, di dalam Serat Centhini disebut ratusan jenis masakan, di antaranya 40 macam nasi, 31 macam sayuran, 148 lauk pauk, 117 macam makanan camilan, dan 46 macam sambal.
Wangi nasi organik jenis Pandan Wangi makin menambah sensasi masakan tempo dulu dari Serat Centhini. Sembari makan di lantai dua rumah makan model panggung ini, kita juga bisa menikmati pemandangan hamparan sawah di sekitarnya. Jika beruntung, seraya menyantap makanan, kita akan disuguhi atraksi para petani menanam padi.
“Nasi yang kami olah di warung ini adalah beras organik yang dihasilkan para petani di sekitar sini. Kami memang menjalin kerja sama dengan para petani. Saat ini kami menggunakan nasi organik jenis Menthik Wangi. Kami sedang merencanakan menanam padi jenis Menthik Susu, yang lebih empuk dan lebih wangi,” Alex Listyadi mengungkapkan.
Selain menu khas yang bersumber dari Serat Centhini, kita juga bisa memesan Teh Uwuh. Minuman khas dari Imogiri, Bantul, ini terdiri atas ramuan jahe, kayu manis, cengkeh, dan beberapa daun yang tumbuh di daerah Imogiri. Ramuan itu kemudian dimasukkan ke air mendidih, ditambah gula batu. Khasiat minuman Teh Uwuh ini adalah menghangatkan badan dan mengembalikan stamina tubuh.
Heru CN (Yogyakarta)
Sumber: TEMPO Interaktif. Senin, 13 April 2009
Filed under: Apresiasi Serat Centhini, Berita Serat Centhini, Resep Masakan Centhini
Post a Comment